PERTANIAN - Bayangkan sejenak menjadi Menteri Pertanian. Tugasnya? Bukan sekadar datang ke kantor, lalu tanda tangan beberapa dokumen. Tidak semudah itu, kawan! Di bahu Menteri Pertanian bertumpu harapan lebih dari setengah populasi Indonesia—ya, lebih dari 65% penduduk kita adalah petani atau hidup dari hasil pertanian. Mulia? Tentu saja. Tapi bayangkan, mengurus sawah dan ladang se-Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, pastilah bukan perkara enteng.
Pertama-tama, ada persoalan air atau irigasi. Tahu sendiri, kan? Pertanian tanpa air ibarat makan nasi tanpa lauk. Di Indonesia, dengan iklim tropis yang kadang tak menentu, Menteri Pertanian harus memikirkan strategi agar petani bisa terus panen meski hujan terlambat turun. Mengatur irigasi itu seperti main puzzle raksasa, salah letak sedikit, bisa banjir di satu tempat atau kekeringan di tempat lain. Itulah sebabnya, Menteri kita harus pintar-pintar mengatur ‘keran’ alam agar sawah-sawah tetap subur.
Nah, kalau irigasi sudah jalan, urusan belum kelar. Masih ada pupuk. "Pupuk, pupuk, di mana pupuk?" begitulah kira-kira suara petani yang sering kita dengar. Harga pupuk yang kian mahal bisa membuat petani gigit jari. Maka, tugas Menteri Pertanian adalah mencari jalan agar pupuk berkualitas tersedia dengan harga yang tak bikin kantong petani bolong. Mungkin dia harus menegosiasi harga dengan produsen, atau memperketat distribusi agar pupuk bersubsidi tepat sasaran—bukan malah diserobot oleh tengkulak yang cuma mau ambil untung.
Lalu ada lagi urusan harga hasil panen. Bisa dibilang ini perkara yang bikin petani baper (bawa perasaan), karena tak jarang, setelah lelah bercocok tanam, harga jual justru tak sesuai harapan. Bayangkan sudah capek menanam padi berbulan-bulan, eh, begitu panen malah harga gabah anjlok. Di sinilah Menteri Pertanian perlu jeli mengatur kebijakan agar harga tetap stabil dan menguntungkan petani. Kadang-kadang, solusi terbaik memang harus inovatif dan menyenangkan, seperti festival hasil panen atau pasar petani langsung ke konsumen.
Baca juga:
Bagas: Dari Preman Menjadi Petani Sukses
|
Sebagai Menteri, hama dan penyakit pun menjadi "musuh" yang tak terlihat namun sangat mengintimidasi. Bayangkan tanaman yang sudah tumbuh subur, siap panen, tiba-tiba diserang hama atau penyakit. Sakit hati? Tentu saja! Di sini Menteri Pertanian perlu menggandeng ahli pertanian dan teknologi, mengadakan penyuluhan, hingga mendistribusikan pestisida yang aman. Harapannya, hama dan penyakit bisa ditangani dengan cara yang ramah lingkungan dan ekonomis untuk petani.
Terakhir, ada pemberdayaan. Di era digital ini, petani perlu lebih dari sekadar cangkul dan traktor. Mereka perlu dilatih dalam menggunakan teknologi, mengetahui teknik bertani yang modern, hingga strategi pemasaran yang jitu. Menteri Pertanian berperan layaknya ‘guru’ yang membimbing petani agar tidak hanya jadi tukang tanam, tapi juga pengusaha mandiri. Harapannya, petani bisa memiliki wawasan dan kemampuan untuk berinovasi, memanfaatkan lahan dengan lebih efektif, bahkan memasarkan produknya hingga ke pasar internasional.
Jadi, menjadi Menteri Pertanian itu memang tugas yang tidak ringan. Di tengah segala tantangan dan kompleksitasnya, ada kebahagiaan tersendiri saat melihat petani tersenyum bangga dengan hasil panennya. Bagaimanapun, setiap butir beras di piring kita adalah hasil jerih payah petani yang telah digarap dengan penuh cinta. Dan, di balik itu semua, ada Menteri Pertanian yang siap mendukung mereka di garis depan.
Jakarta, 30 Oktober 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi
Baca juga:
Pertanian Organik, Pertanian Masa Depan
|